Kerajaan Ho-ling
Keberadaan kerajaan ini diketahui dari kitab sejarah Dinasti Tang (618-906).
Diperkirakan Kerajaan Ho-ling atau Kaling terletak di Jawa Tengah . Nama ini diperkirakan berasal dari nama sebuah kerajaan di India,
Kalingga. Tidak ditemukan peninggalan yang berupa prasasti dari kerajaan ini.
Menurut Berita Cina, kotanya dikelilingi dengan pagar kayu, rajanya beristana
di rumah yang bertingkat, yang ditutup dengan atap; tempat duduk sang raja
ialah peterana gading. Orang orangnya sudah pandai tulis menulis dan mengenal
ilmu perbintangan. Dalam Berita Cina disebut adanya Ratu His-mo atau Sima, yang
memerintah pada tahun 674.
Beliau terkenal sebagai raja yang tegas, jujur, dan
bijaksana. Hukum dilaksanakan dengan tegas. Pada masa ini, agama Buddha
berkembang bersama agama Hindu. Hal ini dapat terlihat dengan datangnya pendeta
Cina Hwi Ning di Kaling dan tinggal selama tiga tahun. Dengan bantuan seorang
pendeta setempat yang bernama Jnanabhadra, Hwi Ning menterjemahkan kitab
Hinayana dari bahasa Sanskerta ke bahasa Cina.
Kerajaan Sriwijaya
Kata sriwijaya berasal dari kata sri = mulia dan kata wijaya = kemenangan.
Kemenangan yang dimaksud di sini ialah kemenangan Dapunta Hyang dalam melakukan
perjalanan suci (manalp siddhayatra). Kerajaan ini berdiri pada abad ke-7 M.
Pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Palembang. Seperti halnya Kutai dan
Tarumanegara, keberadaan Sriwijaya juga diketahui dari prasasti dan Berita
Cina. Dari tempat ditemukannya prasasti yang menyebutkan tentang Sriwijaya,
dapat diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar. Ada sembilan prasasti
yang menceritakan tentang keberadaan Sriwijaya. Tiga di antaranya ditemukan di
luar negeri.
Sriwijaya mencapai
kemajuan di segala aspek kehidupan masyarakat ketika diperintah Raja
Balaputradewa. Balaputradewa bahkan sudah menjalin hubungan dengan Kerajaan
Benggala dan Kerajaan Chola di India. Pada masa Balaputradewa, Kerajaan
Sriwijaya merupakan pusat perdagangan dunia di Asia Tenggara dan menjadi pusat
perkembangan agama Buddha. Ia mendirikan Universitas Nalanda untuk mendidik
para biksu dan bikhuni dengan murid berasal dari Jawa, Cina, Campa, Tanah
Genting Kra, bahkan India. Selain prasasti, informasi tentang Sriwijaya banyak
diperoleh dari catatan Dinasti Tang di Cina dan dari catatan I Tsing, seorang
musafir Cina yang belajar paramasastra Sanskerta di Sriwijaya. Dinasti Tang
mencatat bahwa utusan Sriwijaya pernah datang ke Cina, yaitu tahun 971, 972,
975, 980, dan tahun 983. Itulah sebabnya ditemukan catatan tentang Sriwijaya
dalam Prasasti Kanton.
Prasasti Kedukan Bukit Sumber:
www.melayuonline.com
Prasasti yang menceritakan keberadaan
Sriwijaya
Menurut catatan I Tsing,
Sriwijaya berperan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan agama Buddha
di Asia Tenggara. I Tsing belajar tata bahasa Sanskerta dan teologi Buddha di
Sriwijaya. I Tsing menerjemahkan kitab kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa
Cina. Sriwijaya juga terkenal sebagai kerajaan maritim dan memiliki armada
laut. Perhatikanlah Peta Kerajaan Sriwijaya. Sebagai kerajaan maritim,
Sriwijaya merupakan pusat perdagangan di Asia Tenggara karena menguasai dua
selat besar yang penting dalam perdagangan, Selat Malaka dan Selat Sunda.
Sriwijaya mulai mengalami kemunduran setelah mendapat serangan dari
Dharmawangsa (992), Rajendra Coladewa dari Kerajaan Colamandala (1023, 1030,
dan tahun 1060), Kertanegara (1275), dan Gajah Mada (1377). Sriwijaya akhirnya
hancur ketika Majapahit mulai berkembang di Jawa.
Kerajaan Mataram Kuno
dan Peninggalannya
Seperti keberadaan
kerajaan-kerajaan sebelumnya, keberadaan Kerajaan Mataram Kuno ini pun kita
ketahui dari prasasti-prasasti yang ditemukan. Cukup banyak prasasti yang
berisi informasi tentang Mataram. Di samping prasasti, informasi tentang
Mataram juga dapat diperoleh dari candi-candi, kitab cerita Parahyangan
(Sejarah Pasundan), dan Berita Cina. Kerajaan yang diperkirakan berdiri pada
abad ke-7 ini terletak di daerah pedalaman Jawa Tengah, kemungkinan besar di
daerah Kedu sampai sekitar Prambanan (berdasarkan letak prasasti yang
ditemukan). Kerajaan yang terletak di antara pegunungan dan sungai-sungai besar
seperti Bengawan Solo ini mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Raja Sanna
kemudian digantikan oleh Raja Sanjaya. Sanjaya adalah seorang raja yang bijaksana.
Pada masa pemerintahannya, rakyatnya hidup makmur. Pada masa pemerintahan
Sanjaya, ada dinasti lain yang lebih besar, yaitu Dinasti Syailendra. Keluarga
Sanjaya beragama Hindu dan keluarga Syailendra beragama Buddha. Setelah
Sanjaya, Mataram kemudian diperintah oleh Syailendra Sri Maharaja Dyah
Pancapana Rakai Panangkaran.
Dari namanya, raja ini berasal dari kedua keluarga tersebut.
Setelah Panangkaran, Mataram terpecah menjadi Mataram Hindu dan Mataram Buddha.
Namun, pada tahun 850, Mataram kembali bersatu dengan menikahnya Rakai Pikatan
dan Pramodharwani, putri keluarga Syailendra. Setelah Pikatan, Mataram
diperintah oleh Balitung (898—910) yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura
Dyah Balitung. Balitung adalah raja terbesar Mataram. Wilayah kekuasaannya
meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada masanyalah dibuat prasasti yang
berisi nama-nama raja sebelumnya sampai dirinya. Setelah Balitung,
berturut-turut memerintah Daksa ( 910—919), Tulodong (919 —924), dan Wawa (824
—929). Mataram kemudian diperintah oleh Sindhok (929 — 949) keponakan Wawa dari
keluarga Ishana karena Wawa tidak mempunyai anak. Dengan demikian, berakhirlah
kekuasaan Dinasti Sanjaya. Sindhok kemudian memindahkan ibu kota kerajaan ke
Jawa Timur karena (1) sering meletusnya Gunung Merapi, dan (2) Mataram sering
diserang oleh Sriwijaya. Kerajaan Mataram di Jawa Timur ini sering disebut
Kerajaan Medang. Mpu Sindhok merupakan penguasa baru di Jawa Timur dan
mendirikan wangsa Icyana. Keturunan Mpu Sindok sampai Airlangga tertulis di
Prasasti Calcuta (1042) yang dikeluarkan oleh Airlangga. Setelah Sindhok, Raja
Dharmawangsa (991—1016) bermaksud menyerang Sriwijaya, tapi belum berhasil.
Pemerintahannya diakhiri dengan peristiwa pralaya, yaitu penyerangan raja Wora
Wari.
Pengganti Dharmawangsa adalah Airlangga, menantunya, yang berhasil
lolos dari peristiwa pralaya. Airlangga berhasil membangun kembali kerajaan
Medang di Jawa Timur. Airlangga terkenal sebagai raja yang bijaksana,
digambarkan sebagai Dewa Wisnu. Pada akhir pemerintahannya Airlangga membagi
kerajaannya menjadi Jenggala (Singosari) dan Panjalu (Kediri). Namun, kerajaan
yang bertahan adalah kerajaan Kediri. Airlangga wafat pada tahun 1049. Dengan
demikian, berakhirlah Kerajaan Mataram Kuno.
Bagus sekali.. akhirnya saya mendapatkan pencerahan untuk mengerti jalan hidup sanjaya yang menjadi penguasa dan sekaligus terkait dalam beberapa masa kerajaan.. huffft.. terimakasih banyak ya..
BalasHapus